Minggu, 07 Februari 2010

Fase Kehidupan Sujana Arja

Sanggar tari topeng di Desa Slangit, Kecamatan
Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, itu bernama Panji
Asmara. Luasnya sekitar seperempat hektar. Dindingnya
belum diplester.

Sanggar itu terdiri dari empat kamar, yaitu ruang
tamu, ruang tidur, kamar mandi, dan ruang penyimpanan
gamelan, dengan lantai semen yang retak di beberapa
bagian. Sementara di bagian depan terdapat pendopo
berlantai keramik putih yang biasanya digunakan untuk
latihan tari.

Pada dinding terpasang puluhan piagam penghargaan seni
tari yang sebagian di antaranya berjamur dan kusam. Di
situ tertulis, ”Diberikan pada Sujana Arja Atas
Perhatiannya Pada Kesenian Tari Topeng”.

Panji Asmara artinya lebih kurang ”lambang
kesejahteraan”. Hanya saja, meski usianya sudah
belasan tahun, kesejahteraan itu belum juga mengena
kepada si empunya sanggar, Sujana Arja.

Sehari-hari ia hidup dari bantuan anaknya dan pinjaman
uang tetangga. Menurut ia, sekarang ia dan
rombongannya tidak bisa mengandalkan hidup dari pentas
tari topeng saja. Pentas paling dua kali dalam
setahun.

”Setiap kali pentas, saya pasang tarif Rp 30 juta.
Hasil itu saya bagi dengan sekitar 30 pemain, dari
dalang, penabuh gamelan, hingga penari tambahan,”
katanya ketika ditemui di rumahnya, akhir Juli lalu.

Jangankan untuk membeli kostum tambahan, untuk makan
saja susah. Sehari-hari saya cuma nganggur, tidak
punya dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Saya
sering sedih dan menangis bila melihat keadaan saya
seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, saya harus
menerima semuanya, kata Sujana pasrah.

Keliling kampung

Tari topeng adalah satu-satunya warisan orangtuanya
yang tersisa. Mulai umur delapan tahun, ia sudah
diajari ayahnya untuk menekuni tari topeng dengan
harapan dapat dibawa keliling kampung untuk bebarang
(mengamen tari topeng). Dua tahun digembleng ayahnya,
Sujana kecil mulai mengikuti rombongan kesenian
ayahnya untuk menari di sekitar tempat tinggalnya di
Desa Slangit. Ada lima urutan tari topeng yang harus
dipelajarinya. Berturut-turut adalah panji, samba,
rumyang, tumenggung, dan kelana.

Lima babak itu biasanya dibawakan dalam satu jam.
Jadi, kalau keliling kampung bisa 10 hari kalau beres.
Satu kali tampil dibayar dengan cara bakdeng, satu
babak satu bedeng padi. Satu bedeng sekitar 8-10
kilogram padi, katanya.

Panji melambangkan kelahiran seorang manusia ke dunia.
Samba melambangkan bayi yang telah beranjak dewasa.
Rumyang melambangkan pernikahan yang ditujukan untuk
menghasilkan keturunan yang baik. Tumenggung
melambangkan kewajiban seseorang yang menikah untuk
bekerja sebagai bekal bagi keluarga. Kelana adalah
kontrol yang harus dimiliki orang itu agar tidak
sombong dalam menghadapi hidup.

Belajarnya harus berurutan, tidak boleh loncat-loncat,
karena ada pesan filosofisnya. Pasalnya, seni tari
topeng awalnya merupakan sarana dakwah para wali di
Cirebon untuk menyebarkan agama Islam, katanya.

Kepiawaiannya mulai dikenal masyarakat ketika ia
berumur 12 tahun. Daerah tampilannya meluas hingga
Cirebon dan akhirnya dikenal hingga tingkat nasional.
Dengan pesat, namanya pun tercatat sebagai maestro
seni tari, khususnya tari topeng Cirebon.

Alhasil, pertunjukan ke berbagai negara juga sering
dilakoninya mewakili Indonesia. Tercatat negara
seperti Australia, Amerika Serikat, Swiss, Belanda,
Jerman, dan Jepang merupakan negara yang pernah ia
kunjungi. Muridnya pun tidak sebatas dalam negeri, 32
muridnya tersebar di beberapa negara yang pernah ia
kunjungi itu.

Jangan punah

Keinginan orangtuanya untuk terus melestarikan tari
topeng diturunkan kepada dua anak laki-lakinya, Inu
Kertapati dan Astori. Sama seperti Sujana, nama Inu
Kertapati telah dikenal ke mancanegara melalui tari
topeng. Terakhir, tahun 2004, Inu dikirim ke Taiwan
mewakili Indonesia dalam pertukaran seni budaya.

Sekarang kalau ada undangan untuk tampil, Inu sering
menggantikan saya karena saya sudah tidak kuat lagi
untuk menari, katanya.

Akan tetapi, ia mengakui, warisan itu tidak cukup bila
hanya ia berikan kepada anaknya. Lama-kelamaan tari
topeng akan punah bila hanya segelintir orang yang
mengetahuinya. Ia melihat lingkungannya, beberapa
teman seperjuangannya, seperti tari topeng versi
Palimanan, versi Gegesik, dan versi Losari, sudah di
ambang kepunahan.

Kalau bisa, saya titipkan kesenian tari topeng yang
masih tersisa ini pada generasi selanjutnya agar di
kemudian hari tidak punah. Sebab, saya yakin dari
topeng kita bisa belajar apa yang disebut dengan fase
kehidupan, kata Sujana. (D01
ttp://fossplanet.com

0 komentar:

Posting Komentar

Beri komentar pada blog ini

AdBrite