Minggu, 07 Februari 2010

“The Mask of the Maestro” Mengetengahkan Tari Topeng yang Terpinggirkan

Oleh
Ida Rosdalina

Jakarta – Awal Agustus 2008 sebuah pertunjukan tari tradisional dirancang untuk digelar di sebuah ballroom hotel mewah di Jakarta.

Ini bukan sebuah pemandangan lazim karena biasanya tari-tarian tradisi hanyalah tontonan dalam gedung-gedung usang yang sudah ditinggal penikmatnya.
Namun kali ini, Gelar bersama Bimasena mengangkat pertunjukan tradisi menjadi tontonan yang berkelas. Harga tiket tidak tanggung-tanggung, Rp 1 juta. Bagi Bimasena, sebuah perkumpulan masyarakat pertambangan dan energi, mementaskan pertunjukan tradisi semacam ini bukan hal baru.
“The Mask sesuai dengan program budaya kami, yaitu mengangkat seniman-seniman Indonesia dan membantu melestarikan budaya Indonesia untuk anak-cucu,” kata Tini Hadju-Malayu, Assistant Managing Director Bimasena.
Pementasan yang diproduseri oleh Bram dan Kumoratih Kushardjanto ini akan menampilkan Topeng Kedok Tiga Betawi, Topeng Pajegan dari Bali, dan Wayang Topeng Yogyakarta.
Mengapa Topeng? Menurut Deddy Luthan, seorang koreografer yang menjadi penata artistik pertunjukan ini, topeng adalah sebuah fenomena dalam kesenian Indonesia. “Hampir 80 persen Kesenian di Indonesia menggunakan topeng sebagai sarana berekspresi,” kata Deddy, beberapa waktu lalu.
Topeng merupakan hasil budaya yang sama tuanya dengan pembuatnya. Fungsi topeng pun bermacam-macam. Di Jawa Barat, ada topeng yang terbuat dari emas untuk menutupi wajah orang yang meninggal. Kepopuleran topeng dalam budaya Indonesia memiliki berbagai alasan. Topeng menampilkan karakter, sebagai tiruan wajah. “Topeng juga merupakan pemalsuan diri, di mana ketika menari topeng, orang tidak lagi mewakili diri sendiri, melainkan menjadi orang lain,” kata Deddy.
Tokoh dalam topeng tidak terbatas pada manusia, melainkan juga dari alam lain. Untuk menandai sifat karakter yang dibawakannya, topeng dibuat dalam berbagai warna.
Dalam beberapa kebudayaan, topeng memiliki fungsi keagamaan. Dalam fungsinya ini, topeng mewujudkan konsep-konsep agama, berhubungan dengan kekuatan gaib tertentu.
Dari fungsi keagamaan, fungsi topeng bergeser menjadi estetika karena kehidupan berubah. Topeng hampir punah karena ada perubahan-perubahan dalam masyarakat. Tari-tarian Topeng kini lebih bersifat profan. “Ketika menjadi hiburan, yang lebih ditekankan adalah bagaimana pertunjukannya. Bagaimana gerak, musik dan bentuknya,” kata Deddy.
Namun, seperti pertunjukan tradisi lain, topeng pun mengalami pasang surut. Pertunjukan topeng saat ini ada di titik rawan. Penyebabnya, sudah banyak maestro tari topeng yang meninggal dan tidak banyak orang yang meneruskannya.

Unsur Serapan
Salah satu yang akan tampil dalam pertunjukan bertajuk “The Mask of the Maestro” adalah Kartini. Seniman ini akan menampilkan Tari Kedok Tiga Betawi. Dalam kebudayaan Betawi, topeng tidak menjadi bagian dari keagamaan. “Betawi tidak punya tradisi topeng,” kata Kartini.
Namun, nama topeng digunakan untuk menyebut teater Betawi yang memiliki alur cerita.
Tari Kedok Tiga ini diciptakan oleh Mak Kinong, nenek Kartini, pada tahun 1930-an. Karena tidak memiliki tradisi, tari topeng atau kedok (dalam bahasa Betawi) menyerap banyak unsur topeng dari Cirebon.
Ada tiga karakter dalam tiga warna dalam tarian ini. Topeng putih melambangkan kelembutan sekaligus sebagai tarian untuk menyambut penonton. Kemudian, penari menggunakan topeng berwarna merah muda dengan gerakan yang lebih atraktif dan karakter yang beringas dan kasar diwakili dengan topeng berwarna merah. Semuanya ditampilkan oleh satu penari.
Namun, baru tiga generasi, tari ini sudah mulai langka. Menurut Kartini, tarian ini biasanya dipanggungkan dalam acara khitanan, upacara haul, dan penolak bala. “Ini pertama kali saya tampil di gedung yang mewah,” kata Kartini sambil tertawa.
Selain Tari Kedok Tiga Betawi, dua tari lainnya berasal dari Yogyakarta dan Bali. Wayang Topeng Gaya Yogyakarta ditarikan oleh Lantip Kuswala Daya. Seperti juga tari Kedok Tiga Betawi, wayang topeng asal Yogyakarta ini tidak berkaitan dengan fungsi keagamaan. Tari Topeng Klana klasik ini diciptakan dari kalangan Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Namun, beberapa master tari Yogyakarta, seperti Bagong Kussudiardjo dan Romo Sas telah membuat perubahan pada gerak dan tempo sehingga lebih ekspresif dan lebih cepat.
Sayangnya, kepopuleran Tari Topeng Klana Yogyakarta ini kalah dibanding jenis Tari Topeng Klana dari Surakarta.
Dari Bali, akan tampil maestro tari I Made Djimat dengan Topeng Pajegan. Di antara ketiga tari topeng yang akan dipanggungkan, Topeng Pajegan satu-satunya yang memiliki fungsi keagamaan.
Tari ini adalah ritual yang mengiringi upacara keagamaan Hindu dalam budaya Bali yang diakhiri dengan Topeng Sidakarya sebagai puncak dari ritual itu. Oleh karena itu, penari Topeng Pajegan adalah orang yang memiliki tingkatan spiritual tinggi. Dalam tarian ini, penari harus mampu menarikan peran apa saja yang diwakili dalam berbagai bentuk topeng.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri komentar pada blog ini

AdBrite