Senin, 15 Maret 2010

Labuh Saji Nalayan Mundu Pesisir Cirebon

Dari Instalasi Menuju Ilahi
OlehMatdon

Upacara buang saji atau labuh saji atau nyadran atau nadran atau pesta laut merupakan peristiwa budaya yang biasa dilakukan masyarakat nelayan, dan bukan merupakan seni pertunjukan. Namun, ketika upacara labuh saji ini dilakukan masyarakat nelayan laut Mundu Pesisir Cirebon, maka labuh saji menjadi sebuah seni pertunjukan dan peristiwa budaya yang besar dan menakjubkan.
Dalam upacara labuh saji yang diselenggarakan Ahad (13/7), untuk yang pertama kalinya dalam kurun waktu ratusan tahun, masyarakat nelayan yang notabene merupakan rakyat pinggiran dapat merasakan kesejukan Keraton Kasepuhan Cirebon. Taman Keraton yang luas tetapi kurang terawat itu menjadi tempat berkumpulnya para nelayan yang membawa berbagai hiasan dengan segala bentuk, labuh saji diikuti oleh lebih dari 300 perahu nelayan, biasanya hanya diikuti kurang dari 100 perahu.
Peristiwa ini harus diakui sebagai sejarah tradisi pesisir yang berasal dari anyaman nilai-nilai yang sangat dinamis kelautan, daan merupakan gabungan berbagai elemen masyarakat pesisir yang menjadi ciri dari kebudayaan pantai, dikemas dalam bentuk ritus sosisal. Konon, masyarakat nelayan sejak zaman kerajaan kerajaan, sangat sulit untuk ditaklukkan untuk memperluas kerajaan, di mana pun, di nusantara ini. Selain itu, masyarakat nelayan merasa kehidupan mereka tidak diperhatikan oleh pihak kerajaan (Keraton).
Minggu kemarin, ”keterpisahan” antara Keraton dan nelayan tidak tampak lagi. Sejarah yang panjang itu seakan terpupus dengan kegiatan Sukur Pesisiran yang diselenggarakan ALIF (Aliansi Indonesia Festival), dan ajang ini menjadi sebuah kekuatan gaib yang mempersatukan mereka. Demokrasi budaya terwujud tanpa sengaja, dan perhelatan budaya ini menjadi menarik dan menjadi sebuah pertunjukan langka.
Upacara labuh saji sendiri sebenarnya sudah lama dilakukan masyarakat nelayan Mundu Pesisir. Setiap tahun mereka menyelenggarakannya, tapi kali ini menjadi lain. Peristiwa pertama dalam sejarah, saat para nelayan menginjakkan kaki mereka di taman Keraton Kasepuhan harus dicatat dalam ingatan kolektif. Putra Mahkota Keraraton, Raja Pangeran Arif Natadiningrat SE, hari itu benar-benar berbaur dengan kaum nelayan.
Helaran atau arak-arakan menampilkan 21 kesenian khas Cirebon, seperti Dayak Sumbu, Genjring Santri, Tarling Obrog, Topeng Mbeling, Barongsay, Ronggeng Bugis dan lain-lain. Tradisi ini, mungkin hal biasa pula bagi mereka, tapi karya yang mereka buat, seperti membuat sebuah gerobak berisi dua wanita yang sedang hamil didorong oleh seorang laki-laki, di atas gerobak tertulis ”Akibat Pergaulan Bebas”, menjadi sebuah instalasi yang tidak kalah oleh grafis Tisna Sanjaya, atau seniman terkemuka lain. Tampak sebuah patung nelayan terbuat dari kardus, di bawahnya tertulis ”Mengkonon Cah, Nasibe Wong Nelayan” atau pada karya sebuah parahu yang ditumpangi singa, tertuliskan ”Awas Wong Mundu Arep Lewat’, dan sebuah becak hias yang ditulisi ”Permainan Rakyat Nalayan Dibunuh Ekonomi”, serta berbagai karya lainnya.
Karya-karya itu diarak sepanjang 5 km, dari Keraton Kasepuhan menuju Mundu Pesisir, sepanjang jalan, warga Cirebon tak henti-hentinya menyambut kedatangan rombongan helaran.
Sekitar pukul 09.00 WIB, semua nelayan sudah berkumpul di Mundu, semua warga perkampungan nelayan Mundu, perkampungan Mundu yang dihuni 400 rumah itu menjadi hiruk-pikuk, sebuah pesta rakyat yang benar-benar memberi sentuhan demokrasi budaya, katakanlah semacam interupsi hidup keseharian mereka, penyegaran daya cipta dan pembangunan kembali solidaritas, nilai-nilai budaya saat itu hadir dan semua lapisan masyarakat mendapatkan tempat untuk aktualisasai diri.
Sebanyak 300 perahu mulai beringsut dari daratan menuju tengah laut, tiap-tiap perahu ditumpangi 10—15 orang. Ki Dalang Tomo dari Desa lain memainkan wayang kulit dengan irirngan Kidung Bedug Basuh, sebuah doa pengantar atas keselamatan para penumpang perahu. Setelah itu, semua perahu menuju tengah laut. Iring-iringan ditimpali doa, kidung, dan musik Tarling obrog, semua komposisi musik pesisir dimainkan sempurna.
Tibalah saatnya, upacara ritual Labuh Saji dimulai. Kumandang azan mengawalinya, lalu doa keselamatan dan diakhiri dengan membuang kepala kerbau, buah-buahan, serta makanan serta minuman ke lautan luas itu. Upacara ini menurut Khaerun, salah seorang sesepuh Mundu kepada penulis saat bincang-bincang di atas perahu di lautan bebas usaia upacara, merupakan bentuk upacara rasa sukur kepada Tuhan YME, atas limpahan tangkapan ikan serta permohonan keselamatan di laut. Sesampai kembali di daratan, semua warga melakukan ritual konsumsi bersama dan pencucian perahu.
Perkembangan teknologi memang telah menyusutkan peran historis kawasan pesisir. Namun, tradisi mereka begitu kuat, kepekaan dan keterbukaan mereka atas kecanggihan teknologi tidak lantas membuat mereka ”mabuk daratan”, laut tetap menjadi tumpuan harapan.
Lewat Labuh Saji, pandangan masyarakat tiap tahun memantapkan diri mereka untuk tetap bertahan di lautan, dan labuh saji menjadi semacam festival rakyat yang menggabungkan berbagai elemen masyarakat. Semua pihak, telah mematri bagian bagian sejarah budaya kuat itu, sebuah sarana perdamaian, mempertahankan martabat keakuan manusia. Dan mereka telah merayakan laut menghormati tanah, sejak 11 – 17 Juli 2003, dua panggung di perkampungan nelayan Mundu, membuat pertunjukan seni tradisi, sejak pagi hingga malam, semuanya merupakan refleksi rasa syukur pada Ilahi. ***
Copyright © Sinar Harapan 2003
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/0726/bud2.html

0 komentar:

Posting Komentar

Beri komentar pada blog ini

AdBrite