TAMAN
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia
Maret, 1943
Romantis sekali bukan terdengarnya? Seperti yang biasa terlukis pada mimpi-mimpi pasangan muda yang baru saja menikah. Memiliki dunia berdua, membangun sebuah rumah mungil, keluarga yang sederhana tetapi ada kedekatan jarak satu sama lain…. Hmm, Ahmad Albar bilang: Lebih baik di sini rumah kita sendiri…
LAGU BIASA
Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana…
Maret 1943
Terlihat bukan, betapa jiwa Chairil pun bergolak pada pandangan pertama. Dari mata turun ke hati, lalu “klik”. Dan bagian selanjutnya; Ia mengerling // Ia ketawa // dan rumput kering terus menyala… Chairil, sungguh pintar di sini, biasanya seseorang yang melihat gadis manis dan ia jatuh hati akan menghadapi dua kemungkinan, hatinya bergetar atau nafsunya (baca: anunya) menggelegak, ia malah memakai metafora “dan rumput kering terus menyala”. Rumput apa rumput, Bang??!!
Sekarang ada puisi yang lebih aneh lagi, Chairil sendiri memberikan judul “Sajak Putih” seolah dia sendiri tahu bahwa sajak-sajaknya berwarna warni, dan dia juga menjudge sendiri bahwa sajak yang satu ini sebuah sajak yang berwarna putih…
SAJAK PUTIH
buat tunanganku Mirat
bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda
sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku
hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati datang tidak membelah…
Buat miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di
alam ini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku…
18 Januari 1944
So sweet….! Diawali oleh rayuan dan puji, ditengahi dengan janji sehidup semati yang bahkan kematian pun tak mampu memisahkan, lalu diakhiri dengan pengakuan cinta adalah untuk saling memberi dan menerima. Cinta ideal begitu tergambar di sini.
Puisi Cinta Chairil Anwar Yang Sedih
Sekarang kita beranjak pada puisi cinta Chairil Anwar yang beraroma kesedihan. Yang pertama adalah sajak tentang perpisahan. Sajak tentang perpisahan yang diakibatkan karena; “sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring”. Padahal puisi ini ditujukan pada “dia” yang telah diambilnya berdasarkan pilihan bebas Chairil, bait ini menjelaskannya; “ku pilih engkau dari yang banyak”. Tampaknya, meskipun telah mendapat pendamping yang dimauinya, sepi masih saja menggelayuti kehidupan. “Nasib adalah kesunyian masing-masing”.
PEMBERIAN TAHU
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Kita berpeluk cium tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!
1946
Ada dua buah lagi puisi dari perasaan hati yang sedih, karya Chairil Anwar:
HAMPA
kepada Sri yang selalu sangsi
Sepi di luar, sepi mendesak-desak
Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa-berani melepaskan diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencengkung punda
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setan bertampik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
Maret 1943
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
Dua puisi di atas, adalah puisi tentang kesepian. Puisi tersebut ditujukan pada nama yang sama. Padahal rentang waktu kepenulisan Chairil diantara kedua puisi ini cukup lama,1943 dan 1946. Ini menandakan si Sri di sini benar-benar mampu memberikan rasa cinta padanya, sekaligus bonus perasaan sepi.
Dua puisi tersebut sebangun, namun pada puisi kedua curhat itu lebih implisit. Dia tidak banyak menggunakan kata sepi dan menanti lagi, bahkan juga metafora yang keras seperti puisi pertama: udara bertuba. Pada puisi kedua, ia hanya menggambarkan perasaan melalui lukisan tentang pelabuhan kecil di sore hari.
Beda lainnya, pada puisi pertama secara gamblang ia menulis “buat Sri yang selalu sangsi”, sedang yang kedua “buat Sri Ajatun”. Yang pertama, ada terlukis suatu tudingan. Yang kedua, lebih sebagai rasa kepasrahan. Capai menunggu?
Puisi yang kedua itu merupakan favorit saya, polanya lebih tertata rapi dan lebih liris.
Puisi Chairil Anwar memang, kaya warna. Hampir diseluruh puisnya, baik itu di dalam puisi perjuangan/herois, puisi cinta atau pun puisi tentang pandangan kegamaan, akan terlihat ada gelora di seluruh puisinya. Ada “rasa kental” di setiap puisinya, jejak kehidupannya, maklumlah…. Kan Chairil itu Penyair….
http://arstiven454.wordpress.com/2010/11/02/puisi-cinta-karya-chairil-anwar/
0 komentar:
Posting Komentar